Sesat Membawa Sekarat

Tadi siang. Satu nyawa melayang di perlintasan kereta api stasiun Beji.
Kunti, remaja berusia 18 tahun. Tiba-tiba saja melompat dari boncengan motor pacarnya. Berlari menabrakkan diri ke arah kereta yang melintas bagai kilat.

Kraa-aaaaak!

Kepala wanita itu patah, terpisah dari tubuhnya. Tepat mendarat di pangkuan Gendro-kekasihya yang masih terpaku kebingungan di sadel sepeda motor. Mukanya merah, bermandi darah segar.


“M-a-asssss, semmmm-mo-ga … ka–mu puas-sshhhh.”
Itu kata terakhir yang terucap. Kepala tanpa bola-mata itu, sekarat meregang nyawa. Lidah terjulur. Berbusa campur liur.

Dua bola matanya terpental sejauh dua puluh meter. Ditelan dengan lahapnya oleh anjing gila bermata iblis yang kelaparan. Tubuhnya remuk, hancur terserak dalam kubangan darah. Seperti buah semangka yang terjatuh dari ketinggian seratus meter.

***
Pukul lima, Lima menit.

Saat keluarga dibantu warga sibuk mempersiapkan hidangan untuk tahlil nanti malam. Gendro, masih duduk termenung di tanah basah berwarna coklat-liat, kuburan pacarnya. Dadanya sesak didera rasa sesal dan bersalah.

Rencana kepergiannya tadi siang ke Sawangan, untuk mengunjungi NinikRogoh. Menggugurkan janin berusia tiga bulan yang ditanamnya dalam perut Kunti. Adegan sebelum malapetaka ini terulang lagi dalam batinnya.


“Ini kesempatan terakhir, Kunti! Kita tidak punya waktu lagi!”

“Pokoknya aku nggak mau Mas, aku ingin mempertahankan jabang bayi ini,” tolak Kunti.

“Lantas …”

“Aku tak peduli!” Teriak Kunti makin sengit.

“Bukan cuma tanggapan masyarakat yang aku takutin Kun, tapi ayahmu.”

Kunti bergidik, sesak napas. Dadanya berdegup tiga kali lebih cepat. Membayangkan, bagaimana ayahnya dulu, menebas leher maling yang tertangkap basah. Mat Pengkor, Laki-laki pincang berusia 40 tahun itu, dikenal sebagai preman pasar Induk yang sadis. Bagaimana jika leher Gendro juga ditebasnya nanti?”


“Baa-iklaa-aah Mas.”
Suaranya berat tersekat. Masih menangis. Dia mengangguk dengan terpaksa. Belum rela jabang bayinya digugurkan.

***

Angin lembab berhembus makin kuat, menebarkan bau busuk arak penghuni neraka. Ranting beringin purba menggapai liar menanti mangsa. Udara berubah pengap. Dingin dan beku.

Mentari sore di pekuburan tua hampir tenggelam. Marah dan merah seperti mata iblis haus darah. Menatap bengis pada Gendro, Sang pendosa.

Matahari itu juga yang tiga bulan lalu, menyaksikan perbuatan laknat pasangan terkutuk ini. Di belukar kuburan tua. Di atas pusara Mbah Demot yang yang keramat.


“Kuntiii … maafkan Mas Gendro”
Suaranya parau, memanggil jasad kekasih. Mulutnya masih merasakan asin dan amis darah.


“Sebaiknya, aku berterus terang sama bapakmu,”
lanjutnya, “biar tuntas. Biar hilang rasa bersalah ini.”

Rumpun bambu berderik meringkik tertiup angin, menerbangkan daun coklat kemerahan. Belukar. Gelap dan pekat. Menyembunyikan makhluk gaib haus mangsa.

Sudah bulat tekadnya, berterus terang dan meminta maaf pada orang tua Kunti.

Gendro perlahan bangkit …Srek … sreek … sreeek … ada langkah terseret. Tengkuknya sedingin salju, menerbitkan keringat sebesar butiran jagung. Bau amis darah tercium makin kuat, di sela gemerincing suara benda tajam.


“Gheee-eeen-drooo … kepalanya mau bapak potong berapa?”.

Gendro menoleh. Pucat-pasi. Mat Pengkor, menenteng kepala kambing penuh darah dengan golok di tangan kirinya.

TarumaJaya
21/01/2015

Posted from WordPress for Android

9 pemikiran pada “Sesat Membawa Sekarat

Terima kasih sudah memberi komentar